Minggu, 01 Januari 2017

Aku ingin bercerita

Aku ingin bercerita. Tentang kita yang kini mulai terdengar asing ditelinga.
Kala itu aku sedang dirasuki perasaan sakit yang teramat dalam. Setelah dia yang kupikir bisa membahagiakan, nyatanya malah mengecewakan. Ketika dia yang sangat kuharapkan, lebih memilih untuk kembali kepada masa lalunya. Aku hancur. Terluka sangat dalam. Akupun mencari bahagiaku sendiri tanpa bantuan orang lain hingga aku bisa berjalan tegak lagi tanpa rangkulan bayangan cinta yang semu.

Hingga aku mengenalmu. Kamu yang sangat menyenangkan. Kamu yang sangat bersahaja dan ceria yang tanpa sengaja mampu membuatku sedikit melupakan lukaku. Aku mengagumi auramu. Aura ceria yang selalu terpancar kapanpun aku menatap senyummu. Candaan yang selalu sukses mencairkan suasana didalam ruangan sempit yang sudah seperti ‘basecamp’ bagi organisasi ini. Tanpa sadar aku merasakan kenyamanan yang lain saat bersamamu. aku merasakan sesuatu yang dulu sempat aku rasakan ketika bersamanya, sang pencipta luka. Aku yang kala itu tengah berusaha menyembuhkan luka, tiba-tiba menemukan bahagia dari tempat yang tak terduga, dari sosok yang tak disangka. Ruangan itu bagaikan saksi bisu segala rasa yang pernah kita bagi bersama. Dan kamu, adalah aktor utama pembuat suka cita.


Aku terbuai oleh hangatnya senyuman itu, oleh lucunya candaan itu, oleh hadirmu yang selalu bisa membuatku tersenyum syahdu seakan dunia hanya berisi hal-hal bahagia. Aku kembali terperangkap dalam perasaan yang fana. Aku kembali masuk kedalam jurang fatamorgana yang sepertinya, akan kembali membuat luka. Aku ragu, bahkan berusaha membuangnya jauh jauh. Aku tak ingin terlalu cepat menyimpulkan atau berekspektasi hingga akhirnya aku lagi yang harus tersiksa. Dan benar saja, perasaan ini terhempas begitu saja ketika kutahu bahwa yang kau suka adalah dia, sahabatku.


Ya, aku memang sempat terluka. Tapi tak sedalam dulu. Kau tahu mengapa? Karena aku terlebih dulu menyadari posisiku dan berusaha mengubur perasaan itu dalam dalam. Aku sakit, tapi tak mengapa. Yang kumau hanya kau bahagia. Ketika kamu memintaku berjanji untuk membantumu mencapai inginmu, kau tahu apa yang kurasa? Bagai terhimpit dua tembok antara bahagia dan luka. Hingga akhirnya aku membuat janji yang hanya akan membuatku semakin patah.


Aku tak pernah sedikitpun berniat mengingkari janjiku. Karena kutahu, bahagiamu ada ditangannya. Bahagiamu hanya bersamanya. Aku masih ingat, tentang sinar dimatamu ketika melihatnya. Bahkan aku masih ingat, semangat yang membara ketika kau menceritakan tentangnya kepadaku. Dan hanya dengan menatap rona bahagia dalam wajahmu, aku kembali jatuh cinta. Semakin aku membantumu bahagia, ternyata rasaku ini semakin dalam. Menusuk kedalam jiwa yang sedang berusaha mengobati lukanya. Mencintaimu bagaikan mengiris luka yang baru sembuh kemudian melumurinya dengan cuka, pedih.

Aku semakin bimbang. Ragu akan keputusanku membantumu. Tapi aku meyakinkan diriku bahwa tujuanku adalah bahagiamu, bukan bahagiaku. Jika kau bahagia, aku pun begitu. Kulanjutkan perjuanganku membuatmu bahagia, sekaligus menambah cuka diatas lukaku sendiri. Kita semakin dekat, tetapi jauh. Kita dekat karena suatu tujuan yang pada akhirnya akan membuat kita semakin jauh. Tak kusangka, rasaku ini tak bertepuk sebelah tangan.

Ketika suatu hari kau katakan bahwa kau mengetahui isi hatiku yang sebenarnya, aku semakin bimbang. Karena aku sudah memantapkan hatiku untuk pergi, tapi kamu seolah menahanku untuk menetap. Tanpa sengaja kau bangkitkan kembali rasa yang tlah lama kusembunyikan dalam peti kebungkaman. Tanpa sengaja kau ingatkan lagi akan perasaanku yang sebenarnya, bahwa aku bukan ingin melihatmu bahagia, tetapi ingin bahagia bersamamu. aku terhentak ketika kau mengatakan sebuah kalimat yang tak pernah kusangka sebelumnya. Sebuah kalimat konyol yang membuatku larut dalam bahagia dan berjuta tanda tanya dikepala.


Aku takut, takut bahwa ucapanmu hanya candaan belaka.
Berulang kali kutanya akan keseriusan pertanyaan itu, dan berulang kali pula kau katakan bahwa kau bersungguh-sungguh. Aku bimbang. Bagaimana tidak, hari itu juga kulihat kau bersenda gurau dengannya sang bintang kejora. Dan disela candaan itu kau sempat melihat wajah sedihku, namun kau berpaling begitu saja. Wanita mana yang mau dengan mudahnya percaya akan keseriusan itu? Namun dengan bodohnya, aku mengiyakan pertanyaanmu.

Aku terbuai. Terlena. Terlalu bahagia. Aku bahagia bisa merasakan indahnya saat bersamamu. aku terlalu suka menghabiskan waktu bersamamu. saat bersamamu adalah saat-saat terindah dalam hidupku. Duduk berdua, bercanda, bercerita, berbagi suka cita, tertawa bersama, adalah moment yang sangat ingin kuulang kembali. Sebab kini, yang kurasakan hanya kesendirian, kesepian, kesedihan, kesenduan, dan kerinduan yang enggan untuk mengakui keberadaannya namun sangat terasa. Bahkan tetes airmata sudah mengering, seperti enggan untuk keluar lagi sebab ada atau tidak adanya tak pernah berpengaruh apa-apa. Sebab rindu ini tak pernah terbalaskan oleh sang pencipta rasa. Sebab kamu, seolah tak ingin lagi peduli dengan keberadaanku. Sebab bungkam telah menjadi pilihanku sejak pertama kita bertemu.

Aksara ku,
Yolanda. R

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aksara indah teman sepi kala jemari dan hati tertaut jadi satu dan tertuang dalam satu wadah